Indonesia merupakan salah satu negara yang mengonsumsi tembakau dengan angka yang terbilang tinggi. Berdasarkan laporan global tobacco epidemic (WHO) tahun 2017, Indonesia berada diperingkat pertama dengan jumlah prevalensi perokok laki-laki pada usia 15 tahun keatas sebesar 76,2% dan pada wanita sebesar 3,6%. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat mengingat peredaran rokok yang belum terbatas.
Disini mari kita lihat uraian mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok dengan menggunakan pendekatan sistem, sebagai berikut :
Pada komponen input ada beberapa hal yang menjadi sorotan antara lain, prevalensi perokok yang dari tahun ke tahun semakin meningkat dan terus diprediksi akan mengalami peningkatan apabila tidak dihentikan sejak dini. Kemudian dari pemangku kebijakan yang belum ikut serta dalam penerapan kebijakan yang sudah dibuat dan dipertimbangkan secara apik. Apabila prevalensi perokok aktif maupun pasif terus meningkat maka prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular pun ikut meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 tren penyakit menular akibat rokok meningkat sebanyak 70%.
Saat ini pemerintah dihadapkan dengan dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi, cukai rokok merupakan penjunjang ekonomi negara, bahkan cukai rokok menjadi salah satu sumber donatur (beasiswa) di berbagai instansi. Disisi lain, pemerintah harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membiayai pengobatan yang disebabkan penyakit akibat merokok.
Dalam artian, apabila penjualan rokok dihentikan maka akan berimbas pada perekonomian para pekerja di pabrik rokok dan pada petani tembakau. Sedangkan apabila penjualan rokok terus dibiarkan maka akan menambah beban dari BPJS Kesehatan untuk membiayai pengobatan pasien yang sakit akibat merokok.
Berdasarkan data BPJS tahun 2018, penyakit Katastropik di Indonesia menyebabkan pengeluaran tanggungan kesehatan hingga Rp 20,4 triliun atau 21,6% dari total pengeluaran sebanyak 51,5% dari 21,6% atau Rp 10,5 triliun untuk pengobatan penyakit Jantung dan 16,7% atau Rp 3,7 triliun untuk pengobatan penyakit Kanker.
Untuk penurunan prevalensi perokok pemerintah telah menetapkan banyak cara antara lain, peringatan kesehatan di tiap kemasan rokok bahkan ada yang menambahkan gambar-gambar penyakit yang diakibatkan dari merokok. Pembatasan iklan rokok di berbagai media, gerakan rumah bebas asap rokok, klinik berhenti merokok serta diberlakukannya penjualan rokok yang terbatas. Selain itu perlu dilakukan tindakan tegas apabila ada oknum yang melanggar peraturan mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pemerintah sangat berharap prevalensi perokok dan penyakit akibat merokok di Indonesia bisa perlahan-lahan menurun.
Oleh : Yuni Yarti dan Putri Morantina. P
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijaya
0 Komentar